Banner

Banner Blog

13/02/12

Komisi Konstitusi Harus Dihidupkan Kembali





PROSES perubahan konstitusi sebaiknya diserahkan kepada pihak-pihak yang mempunyai kompetensi dan keahlian di bidang ketatanegaraan. Sehingga produk konstitusi yang dihasilkan mampu membawa arah dan struktur ketatanegaraan lebih baik dari saat ini.

Hal itu dikemukakan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Ubaya Prof Eko Sugitario SH MHum, saat ditemui Surabaya Pagi, dalam acara Fokus Group Discussion di Ubaya, Kamis (27/4).
Eko mengkhawatirkan, jika yang membuat atau menyusun konstitusi itu orang-orang MPR yang notabene adalah anggota partai politik, maka proses perubahan cenderung parsial dan tidak maksimal. Pasalnya, dalam proses perubahan tersebut, terjadi tarik menarik kepentingan politik, tawar menawar, lobi, dan berbagai proses lainnya, yang membuat muatan konstitusi menjadi tidak jelas.
Contohnya, seperti yang terjadi saat ini. Hasil amandemen keempat terhadap konstitusi telah memposisikan struktur ketatanegaraan tidak jelas kemana arahnya. Secara konsep, mau dibawa ke sistem bikameral, tetapi praktiknya masih setengah hati. DPD misalnya, hanya diberi peran yang minimal. Padahal, dalam sistem bikameral, setiap kamar mempunyai peran yang setara dalam proses legislasi, anggaran dan pengawasan.   
Eko mengatakan, ada baiknya mulai dipikirkan untuk membentuk semacam lembaga konstituante yang bertugas untuk melakukan amandemen konstitusi, jika memang ada tuntutan perubahan. Konstituante ini terdiri dari orang-orang yang ahli di bidang ketatanegaraan dan tidak mempunyai kaitan dengan partai politik.
Dosen FH Unibraw Ibnu Tricahyo SH MH, mengamini pernyataan tersebut. Ia menjelaskan, di tahun 1955, negeri ini sempat membuat semacam lembaga konstituante untuk menyusun dan mempersiapkan konstitusi. Sifat dari kelembagaan ini hanya sementara, yaitu bila ada kebutuhan untuk melakukan amandemen. Pola seperti ini, kata Ibnu, telah dilakukan oleh negara-negara lain, seperti Filipina, Thailand, dan Afrika Selatan.
Sebenarnya, pasca reformasi pemerintah telah membentuk Komisi Konstitusi, yang dilihat dari konsep awalnya seperti lembaga konstituante. Namun, peran Komisi Konstitusi ini tidak sesuai dengan konsep awal. Tugasnya hanya melakukan kajian terhadap konstitusi pasca amandemen.
”Kalau sebatas mengkaji, semua orang pun bisa, akademisi tiap hari sudah mengkaji. Peran ini ditumpulkan oleh pemerintah. Akibatnya, tidak punya taring,” katanya. Padahal, kalau mau dimaksimalkan, Komisi Konstitusi bisa menata seluruh struktur ketatanegaraan yang masih rancu ini. 
Lalu bagaimana mewujudkannya, Ibnu menyarankan agar secepatnya melakukan amandemen terhadap pasal 37 UUD 1945. ”Langkahnya harus amandemen dulu pasal 37, dan memasukkan semacam komisi yang bertugas untuk melakukan perubahan sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi,” ungkapnya.
Ia mengaku optimis bila hasil dari KK lebih baik, karena mereka ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai integritas, ahli dibidangnya, dan tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik.
Melihat kondisi sekarang, mungkinkan anggota MPR mau menyetujui gagasan tersebut? Ibnu menilai, mau tidak mau desakan ini harus dilakukan. MPR harus menyadari kalau perannya dikurangi, langkah bukan untuk mengkerdilkan MPR, tetapi semata-mata untuk kemajuan bangsa ini.
”Saya kira semua harus berpikir ke sana, agar seluruh proses dalam mengubah konstitusi mempunyai makna dan bisa dijadikan pegangan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” ungkapnya. rie


Hukum Tak Lindungi Rakyat Miskin



Dunia hukum dan keadilan diselimuti wajah muram dan sedih. Pasalnya, tahun ini, jaminan keadilan hukum dan HAM, terutama bagi warga miskin dan lemah, masih rendah. Bahkan, jika dibandingkan dengan tahun lalu (2008), jaminan keadilan hukum ini jauh lebih rendah lagi. Berikut ini catatan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya sepanjang 2009.

DATA yang diungkap LBH Surabaya, pada acara diskusi publik, ”Urgensi RUU Bantuan Hukum terhadap Pemenuhan Hak Atas Keadilan bagi Masyarakat Miskin”, Selasa (29/12), menunjukkan masih perlunya suatu usaha dukungan terhadap warga miskin dalam hal pemenuhan keadilan. Pasalnya, sepanjang tahun 2009, masih banyak merenggut hak keadilan warga miskin.
“Tahun ini terjadi krisis keadilan, terutama bagi masyarakat miskin,” kata Syaiful Aris, Direktur LBH Surabaya. “Banyak sekali kasus remeh yang dilakukan seorang miskin dipenjara, sementara kasus-kasus besar yang perlu diperhatikan dan diseriusi penanganannya malah tidak diseriusi,” tambahnya.