Dunia hukum dan keadilan diselimuti wajah muram dan
sedih. Pasalnya, tahun ini, jaminan keadilan hukum dan HAM, terutama bagi warga
miskin dan lemah, masih rendah. Bahkan, jika dibandingkan dengan tahun lalu
(2008), jaminan keadilan hukum ini jauh lebih rendah lagi. Berikut ini catatan
hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya
sepanjang 2009.
DATA yang diungkap LBH Surabaya,
pada acara diskusi publik, ”Urgensi RUU Bantuan Hukum terhadap Pemenuhan Hak
Atas Keadilan bagi Masyarakat Miskin”, Selasa (29/12), menunjukkan masih perlunya
suatu usaha dukungan terhadap warga miskin dalam hal pemenuhan keadilan.
Pasalnya, sepanjang tahun 2009, masih banyak merenggut hak keadilan warga miskin.
“Tahun ini
terjadi krisis keadilan, terutama bagi masyarakat miskin,” kata Syaiful Aris,
Direktur LBH Surabaya. “Banyak sekali kasus remeh yang dilakukan seorang miskin
dipenjara, sementara kasus-kasus besar yang perlu diperhatikan dan diseriusi
penanganannya malah tidak diseriusi,” tambahnya.
Salah satu
contoh kasus remeh yang menelan kebahagiaan hidup warga miskin adalah kasus
yang menimpa Ibu Sulfiana, seorang supervisor pengganti pada sebuah perusahaan
processing tembakau di Pasuruan, yang dijatuhi status terdakwah hanya gara-gara
dituduh menggelapkan dan mencuri makanan ringan (snack) milik karyawan
perusahaan yang hanya seharga Rp 19 ribu.
Tuduhan yang
mengarah kepada Ibu Sulfiana sebenarnya belum terbukti benar. Namun, karena
tawaran “damai” yang ditawarkan pihak perusahaan tidak diindahkan oleh Ibu
Sulfiana, pihak perusahaan akhirnya mengkriminalisasi Ibu Sulfiana pada 2008.
Hingga kini, proses peradilan Ibu Sulfiana masih terus berjalan dan diproses
dengan ancaman dipenjara, juga di-PHK tanpa pesangon dari perusahaan yang
mengkriminalisasinya.
Kasus lain yang
bisa dijadikan indikator lemahnya jaminan perlindungan hukum, hak dan keadilan
bagi warga miskin adalah kasus terkait hak warga atas tanah. Tren yang berjalan
selama ini, warga miskin selalu dikalahkan jika berhadapan dengan penguasa atau
pengusaha.
Berdasarkan
catatan LBH Surabaya, sepanjang tahun 2009, di Jawa Timur ada beberapa sengketa
tanah atau pemanfaatan lahan antara warga miskin dengan TNI atau perusahaan.
Misalnya, konflik agrarian antara warga petani dengan TNI di Kabupaten Blitar,
marginalisasi komunitas petani terhadap lahan garapan di Kabupaten Lumajang dan
Jember, dan upaya penguasaan tanah warga Nogosari, Rambipuji, Jember, oleh PT
PN XXV. Pada sengketa ini, beberapa warga penggugat dilaporkan oleh perusahaan
terkait kepada polisi hingga kemudian ditangkap dan diadili.
Selain di desa,
kasus hukum yang tidak memihak kepada masyarakat miskin juga terjadi di
perkotaan, seperti Surabaya .
Di Surabaya, kasus yang paling sering dijumpai adalah kasus penggusuran yang
dilakukan oleh Pemkot.
Menurut Aris,
penggusuran di Surabaya
adalah contoh paling mudah dipahami sebagai tanda belum adanya pemenuhan hak
masyarakat kecil. “Penggusuran oleh Pemkot Surabaya sudah menjadi tren, dan
sepertinya akan terus dilakukan ke depan. Sayangnya, Pemkot tidak pernah
menyediakan solusi kepada korban penggusuran,” katanya.
Selain
penggusuran, masalah lain yang hingga kini masih menjadi pembicaraan adalah
masalah Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya, yang meskipun telah ditetapkan, tetap
dipermasalahkan oleh pihak buruh, karena masih kurang dari layak.
379 Pengaduan
Seperti
diketahui, sepanjang 2009, LBH Surabaya telah menerima 379 perkara yang
melibatkan 1.000 orang lebih yang diadukan ke LBH Surabaya. Sedangakan, jenis
perkara yang diadukan oleh masyarakat mayoritas adalah perkara perdata sebanyak
29,55 persen kemudian disusul perakra pidana sebanyak 22,43 persen dan diurutan
ketiga adalah masalah perkawinan sebanyak 18,73 persen.
Menariknya, kata
Aris, tidak semua pengadu mengadukan persoalan hukumnya di LBH Surabaya adalah
korban, mereka yang menjadi pelaku juga mengadukan persoalan hukumnya ke LBH.
"Tentunya kami mendorong agar pengadu mempertanggungjawabkan
perbuatannya," kata Aris.
Di lihat dari
penghasilannya, mereka yang mengadu ke LBH Surabaya sekitar 70 persen adalah
masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah yakni antara di bawah Rp 500 ribu
sampai degan Rp 1 juta. Ini mengindikasikan layanan bantuan hukum sangat
dibutuhkan masyarakat miskin dalam menghadapi persoalan hukum yang melilitnya.
Dari beberapa catatan kelam di ranah hukum dan
keadilan yang terjadi di tahun 2009, LBH Surabaya berharap, tahun depan upaya
jaminan dan perlindungan terhadap pemenuhan hak warga miskin harus
ditingkatkan. “Hal ini sesuai dengan permintaan masyarakat, yang berharap LBH
ke depan harus lebih mampu mengupayakan keadilan hukum bagi masyarakat miskin
dan lemah,” tegas Aris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar