Banner

Banner Blog

13/02/12

Hukum Tak Lindungi Rakyat Miskin



Dunia hukum dan keadilan diselimuti wajah muram dan sedih. Pasalnya, tahun ini, jaminan keadilan hukum dan HAM, terutama bagi warga miskin dan lemah, masih rendah. Bahkan, jika dibandingkan dengan tahun lalu (2008), jaminan keadilan hukum ini jauh lebih rendah lagi. Berikut ini catatan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya sepanjang 2009.

DATA yang diungkap LBH Surabaya, pada acara diskusi publik, ”Urgensi RUU Bantuan Hukum terhadap Pemenuhan Hak Atas Keadilan bagi Masyarakat Miskin”, Selasa (29/12), menunjukkan masih perlunya suatu usaha dukungan terhadap warga miskin dalam hal pemenuhan keadilan. Pasalnya, sepanjang tahun 2009, masih banyak merenggut hak keadilan warga miskin.
“Tahun ini terjadi krisis keadilan, terutama bagi masyarakat miskin,” kata Syaiful Aris, Direktur LBH Surabaya. “Banyak sekali kasus remeh yang dilakukan seorang miskin dipenjara, sementara kasus-kasus besar yang perlu diperhatikan dan diseriusi penanganannya malah tidak diseriusi,” tambahnya.


Salah satu contoh kasus remeh yang menelan kebahagiaan hidup warga miskin adalah kasus yang menimpa Ibu Sulfiana, seorang supervisor pengganti pada sebuah perusahaan processing tembakau di Pasuruan, yang dijatuhi status terdakwah hanya gara-gara dituduh menggelapkan dan mencuri makanan ringan (snack) milik karyawan perusahaan yang hanya seharga Rp 19 ribu.
Tuduhan yang mengarah kepada Ibu Sulfiana sebenarnya belum terbukti benar. Namun, karena tawaran “damai” yang ditawarkan pihak perusahaan tidak diindahkan oleh Ibu Sulfiana, pihak perusahaan akhirnya mengkriminalisasi Ibu Sulfiana pada 2008. Hingga kini, proses peradilan Ibu Sulfiana masih terus berjalan dan diproses dengan ancaman dipenjara, juga di-PHK tanpa pesangon dari perusahaan yang mengkriminalisasinya.
Kasus lain yang bisa dijadikan indikator lemahnya jaminan perlindungan hukum, hak dan keadilan bagi warga miskin adalah kasus terkait hak warga atas tanah. Tren yang berjalan selama ini, warga miskin selalu dikalahkan jika berhadapan dengan penguasa atau pengusaha.
Berdasarkan catatan LBH Surabaya, sepanjang tahun 2009, di Jawa Timur ada beberapa sengketa tanah atau pemanfaatan lahan antara warga miskin dengan TNI atau perusahaan. Misalnya, konflik agrarian antara warga petani dengan TNI di Kabupaten Blitar, marginalisasi komunitas petani terhadap lahan garapan di Kabupaten Lumajang dan Jember, dan upaya penguasaan tanah warga Nogosari, Rambipuji, Jember, oleh PT PN XXV. Pada sengketa ini, beberapa warga penggugat dilaporkan oleh perusahaan terkait kepada polisi hingga kemudian ditangkap dan diadili.
Selain di desa, kasus hukum yang tidak memihak kepada masyarakat miskin juga terjadi di perkotaan, seperti Surabaya. Di Surabaya, kasus yang paling sering dijumpai adalah kasus penggusuran yang dilakukan oleh Pemkot.
Menurut Aris, penggusuran di Surabaya adalah contoh paling mudah dipahami sebagai tanda belum adanya pemenuhan hak masyarakat kecil. “Penggusuran oleh Pemkot Surabaya sudah menjadi tren, dan sepertinya akan terus dilakukan ke depan. Sayangnya, Pemkot tidak pernah menyediakan solusi kepada korban penggusuran,” katanya.
Selain penggusuran, masalah lain yang hingga kini masih menjadi pembicaraan adalah masalah Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya, yang meskipun telah ditetapkan, tetap dipermasalahkan oleh pihak buruh, karena masih kurang dari layak.

379 Pengaduan
Seperti diketahui, sepanjang 2009, LBH Surabaya telah menerima 379 perkara yang melibatkan 1.000 orang lebih yang diadukan ke LBH Surabaya. Sedangakan, jenis perkara yang diadukan oleh masyarakat mayoritas adalah perkara perdata sebanyak 29,55 persen kemudian disusul perakra pidana sebanyak 22,43 persen dan diurutan ketiga adalah masalah perkawinan sebanyak 18,73 persen.
Menariknya, kata Aris, tidak semua pengadu mengadukan persoalan hukumnya di LBH Surabaya adalah korban, mereka yang menjadi pelaku juga mengadukan persoalan hukumnya ke LBH. "Tentunya kami mendorong agar pengadu mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Aris.
Di lihat dari penghasilannya, mereka yang mengadu ke LBH Surabaya sekitar 70 persen adalah masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah yakni antara di bawah Rp 500 ribu sampai degan Rp 1 juta. Ini mengindikasikan layanan bantuan hukum sangat dibutuhkan masyarakat miskin dalam menghadapi persoalan hukum yang melilitnya.
Dari beberapa catatan kelam di ranah hukum dan keadilan yang terjadi di tahun 2009, LBH Surabaya berharap, tahun depan upaya jaminan dan perlindungan terhadap pemenuhan hak warga miskin harus ditingkatkan. “Hal ini sesuai dengan permintaan masyarakat, yang berharap LBH ke depan harus lebih mampu mengupayakan keadilan hukum bagi masyarakat miskin dan lemah,” tegas Aris

Tidak ada komentar: