PROSES perubahan konstitusi sebaiknya diserahkan kepada
pihak-pihak yang mempunyai kompetensi dan keahlian di bidang ketatanegaraan.
Sehingga produk konstitusi yang dihasilkan mampu membawa arah dan struktur ketatanegaraan
lebih baik dari saat ini.
Hal itu dikemukakan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Ubaya Prof Eko
Sugitario SH MHum, saat ditemui Surabaya Pagi, dalam acara Fokus Group
Discussion di Ubaya, Kamis (27/4).
Eko mengkhawatirkan, jika yang membuat atau menyusun konstitusi itu
orang-orang MPR yang notabene adalah anggota partai politik, maka proses
perubahan cenderung parsial dan tidak maksimal. Pasalnya, dalam proses
perubahan tersebut, terjadi tarik menarik kepentingan politik, tawar menawar,
lobi, dan berbagai proses lainnya, yang membuat muatan konstitusi menjadi tidak
jelas.
Contohnya, seperti yang terjadi saat ini. Hasil amandemen keempat terhadap
konstitusi telah memposisikan struktur ketatanegaraan tidak jelas kemana
arahnya. Secara konsep, mau dibawa ke sistem bikameral, tetapi praktiknya masih
setengah hati. DPD misalnya, hanya diberi peran yang minimal. Padahal, dalam
sistem bikameral, setiap kamar mempunyai peran yang setara dalam proses
legislasi, anggaran dan pengawasan.
Eko mengatakan, ada baiknya mulai dipikirkan untuk membentuk semacam
lembaga konstituante yang bertugas untuk melakukan amandemen konstitusi, jika
memang ada tuntutan perubahan. Konstituante ini terdiri dari orang-orang yang
ahli di bidang ketatanegaraan dan tidak mempunyai kaitan dengan partai politik.
Dosen FH Unibraw Ibnu Tricahyo SH MH, mengamini pernyataan tersebut. Ia
menjelaskan, di tahun 1955, negeri ini sempat membuat semacam lembaga
konstituante untuk menyusun dan mempersiapkan konstitusi. Sifat dari kelembagaan
ini hanya sementara, yaitu bila ada kebutuhan untuk melakukan amandemen. Pola
seperti ini, kata Ibnu, telah dilakukan oleh negara-negara lain, seperti
Filipina, Thailand, dan Afrika Selatan.
Sebenarnya, pasca reformasi pemerintah telah membentuk Komisi Konstitusi,
yang dilihat dari konsep awalnya seperti lembaga konstituante. Namun, peran
Komisi Konstitusi ini tidak sesuai dengan konsep awal. Tugasnya hanya melakukan
kajian terhadap konstitusi pasca amandemen.
”Kalau sebatas mengkaji, semua orang pun bisa, akademisi tiap hari sudah
mengkaji. Peran ini ditumpulkan oleh pemerintah. Akibatnya, tidak punya
taring,” katanya. Padahal, kalau mau dimaksimalkan, Komisi Konstitusi bisa
menata seluruh struktur ketatanegaraan yang masih rancu ini.
Lalu bagaimana mewujudkannya, Ibnu menyarankan agar secepatnya melakukan
amandemen terhadap pasal 37 UUD 1945. ”Langkahnya harus amandemen dulu pasal
37, dan memasukkan semacam komisi yang bertugas untuk melakukan perubahan
sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi,” ungkapnya.
Ia mengaku optimis bila hasil dari KK lebih baik, karena mereka ini terdiri
dari orang-orang yang mempunyai integritas, ahli dibidangnya, dan tidak
terkontaminasi oleh kepentingan politik.
Melihat kondisi sekarang, mungkinkan anggota MPR mau menyetujui gagasan
tersebut? Ibnu menilai, mau tidak mau desakan ini harus dilakukan. MPR harus
menyadari kalau perannya dikurangi, langkah bukan untuk mengkerdilkan MPR,
tetapi semata-mata untuk kemajuan bangsa ini.
”Saya kira semua harus berpikir ke sana, agar seluruh proses dalam mengubah
konstitusi mempunyai makna dan bisa dijadikan pegangan bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara,” ungkapnya. rie