Banner

Banner Blog

11/03/12

Budaya Hukum Diabaikan dalam Kasus Lapindo



Munculnya sejumlah kasus lingkungan baik yang ditimbulkan oleh bencana alam maupun bencana kemanusiaan hingga saat ini masih belum tertangani secara baik oleh pemerintah. Termasuk kasus lumpur Lapindo, di Porong, Sidoarjo yang masih menimbulkan polemik. Bagaimana sebenarnya tanggung jawab pemerintah dan PT Lapindo Brantas Inc dalam penyelesaian persoalan lingkungan dari perspektif budaya hukum?

HAMPIR lima tahun semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, tak kunjung berhenti. Alih-alih berusaha menyelesaikan masalah, keputusan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 yang telah diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2009 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pemerintah justru menyisakan sejumlah persoalan terkait ganti rugi bagi warga yang terkena semburan lumpur, baik yang terdampak maupun yang tidak.
Hal inilah yang membuat warga di sekitar semburan tak henti-hentinya melakukan aksi unjuk rasa menuntut ketegasan pemerintah dan menuntut ganti rugi atas kerugian fisik dan fisik yang dialaminya.


Brigjen Pol (Purn) Dr. Suharto, Drs. SH. MHum dalam bedah bukunya yang berjudul Hukum dan Lumpur Lapindo, Tanggung Jawab PT Lapindo Brantas Inc Dalam Sengketa Lingkungan di Sidoarjo Perspektif Budaya Hukum, mengungkapkan dalam penanganan lumpur Lapindo ini, pemerintah hanya mendasarkan pada Perpres No 14 Tahun 2007, sementara UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,  Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2006 tentang Pencairan dan Pertolongan, UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 30 Tahun 2009 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sama sekali diabaikan.
Di dalam UU No 24/2007 misalnya, salah satu ciri paradigmatiknya adalah pengaturan pertanggungjawaban dari kewajiban moral menuju ke arah kewajiban hukum (legal obligation). Sehingga baik pemerintah maupun korporasi memiliki tanggung jawab yang sama ketika terdapat persoalan yang mengakibatkan timbulnya bencana alam dan menimbulkan korban.
Di Pasal 5 dan 9 disebutkan secara jelas bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Di antaranya: (1) pengurangan risiko bencana dan pemanduan pengurangan resiko bencana dengan program pembangunan; (2) perlindungan masyarakat dari dampak bencana; (3) penjaminan pemenuhan hak masyarakatdan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; (4) pemulihan kondisi fisik dari dampak bencana; (5) pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN yang memadai; (6) pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk siap pakai; dan (7) pemeliharaan arsip/dokumen autentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
”Sayangnya, konsep yang secara normatif berwajah ideal ini sama sekali tidak diimplementasikan atau bahkan sulit diimplementasikan dalam penanganan kasus Lapindo,” ujar Suharto yang juga Rektor Universitas Bhayangkara ini dalam bedah buku yang digelar oleh Pascasarjana Ubhara, kemarin.
Melawan Hukum
Mantan Direktur Tipiter Mabes Polri ini mengungkapkan bahwa secara hukum bila mengacu pada unsur-unsur perbuatan melawan hukum, PT Lapindo Brantas Inc banyak sekali melakukan pelanggaran. Unsur pertama, yakni pelanggaran terhadap hak orang lain, sudah jelas tidak terbantahkan bahwa semburan lumpur telah memakan korban jiwa dan menenggelamkan sekitar 8 desa sehingga 794 keluarga atau 2.174 orang mengungsi karena kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
Unsur kedua yakni kesalahan. Dalam hal ini ada tidaknya kesalahan PT LBI, sangat ditentukan bagaimana pengadilan menerapkan sistem beban pembuktian terbalik. Sebab bila mengacu pada konsep KUHPerdata yakni sistem tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) yang harus dibuktikan oleh tergugat, akan sangat kesulitan sekali.
Pasalnya, masyarakat sebagai penggugat akan sangat kesulitan untuk membuktikan kesalahan PT LBHI baik dari segi teknik pengeboran, penggunaan alat pengeboran, pemasangan selubung (casing) yang tentunya memerlukan tenaga ahli dan teknologi canggih. ”Faktanya, Medco mengajukan gugatan Arbitrase terhadap PT LBI karena tidak memasang selubung (casing). Ini yang harus diterapkan pembuktian terbalik,” paparnya.

Pelanggaran UU
Senada dengan Suharto, Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Airlangga Dr Suparto Wijoyo mengungkapkan bahwa PT LBI telah melakukan banyak pelanggaran atas selusin UU, mulai Perindustrian, Konservasi, Lingkungan Hidup, Jalan, Lalu Lintas, Migas, Penataan ruang, pertambangan, agraria, kesehatan, sumber daya air dan terorisme.
”Jadi sebenarnya tidak perlu dibuktikan apakah Lapindo memiliki unsur sengaja atau alpa, tetapi kegiatan pengeboran yang akhirnya menyebabkan semburan lumpur yang merusak lingkungan sudah cukup untuk memidanakan perseroan tersebut,” ujarnya.
Direktur Pascasarjana Ubhara Prof. Dr. Prasetijo Rijadi SH Mhum mengungkapkan bahwa lemahnya penegakan hukum dalam kasus Lapindo ini menunjukkan juga lemahnya budaya hukum untuk mewujudkan hukum yang tegas dan adil di negeri ini. Oleh karenanya, perlunya aparat penegak hukum, masyarakat meningkatkan kesadaran hukumnya agar terwujud penegakan hukum yang konsisten dan baik. ri

Dimuat di Harian Surabaya Pagi, 3/3/2011

Tidak ada komentar: