Munculnya sejumlah kasus lingkungan baik yang ditimbulkan oleh bencana
alam maupun bencana kemanusiaan hingga saat ini masih belum tertangani secara
baik oleh pemerintah. Termasuk kasus lumpur Lapindo, di Porong, Sidoarjo yang
masih menimbulkan polemik. Bagaimana sebenarnya tanggung jawab pemerintah dan
PT Lapindo Brantas Inc dalam penyelesaian persoalan lingkungan dari perspektif
budaya hukum?
HAMPIR lima
tahun semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, tak kunjung berhenti.
Alih-alih berusaha menyelesaikan masalah, keputusan pemerintah dengan
mengeluarkan Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 yang telah diubah menjadi
Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2009 tentang Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo (BPLS) pemerintah justru menyisakan sejumlah persoalan terkait ganti
rugi bagi warga yang terkena semburan lumpur, baik yang terdampak maupun yang
tidak.
Hal inilah yang membuat warga di
sekitar semburan tak henti-hentinya melakukan aksi unjuk rasa menuntut
ketegasan pemerintah dan menuntut ganti rugi atas kerugian fisik dan fisik yang
dialaminya.
Brigjen Pol (Purn) Dr. Suharto,
Drs. SH. MHum dalam bedah bukunya yang berjudul Hukum dan Lumpur Lapindo,
Tanggung Jawab PT Lapindo Brantas Inc Dalam Sengketa Lingkungan di Sidoarjo
Perspektif Budaya Hukum, mengungkapkan dalam penanganan lumpur Lapindo ini,
pemerintah hanya mendasarkan pada Perpres No 14 Tahun 2007, sementara UU No 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2006 tentang Pencairan dan Pertolongan,
UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
No 30 Tahun 2009 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sama
sekali diabaikan.
Di dalam UU No 24/2007 misalnya,
salah satu ciri paradigmatiknya adalah pengaturan pertanggungjawaban dari
kewajiban moral menuju ke arah kewajiban hukum (legal obligation). Sehingga baik pemerintah maupun korporasi
memiliki tanggung jawab yang sama ketika terdapat persoalan yang mengakibatkan
timbulnya bencana alam dan menimbulkan korban.
Di Pasal 5 dan 9 disebutkan
secara jelas bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Di antaranya: (1) pengurangan risiko bencana dan
pemanduan pengurangan resiko bencana dengan program pembangunan; (2)
perlindungan masyarakat dari dampak bencana; (3) penjaminan pemenuhan hak
masyarakatdan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan
standar pelayanan minimum; (4) pemulihan kondisi fisik dari dampak bencana; (5)
pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN yang memadai; (6)
pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk siap pakai; dan (7)
pemeliharaan arsip/dokumen autentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana.
”Sayangnya, konsep yang secara
normatif berwajah ideal ini sama sekali tidak diimplementasikan atau bahkan
sulit diimplementasikan dalam penanganan kasus Lapindo,” ujar Suharto yang juga
Rektor Universitas Bhayangkara ini dalam bedah buku yang digelar oleh
Pascasarjana Ubhara, kemarin.
Melawan Hukum
Mantan Direktur Tipiter Mabes
Polri ini mengungkapkan bahwa secara hukum bila mengacu pada unsur-unsur
perbuatan melawan hukum, PT Lapindo Brantas Inc banyak sekali melakukan
pelanggaran. Unsur pertama, yakni
pelanggaran terhadap hak orang lain, sudah jelas tidak terbantahkan bahwa
semburan lumpur telah memakan korban jiwa dan menenggelamkan sekitar 8 desa
sehingga 794 keluarga atau 2.174 orang mengungsi karena kehilangan tempat
tinggal dan mata pencaharian.
Unsur kedua yakni kesalahan. Dalam hal ini ada tidaknya kesalahan PT LBI,
sangat ditentukan bagaimana pengadilan menerapkan sistem beban pembuktian
terbalik. Sebab bila mengacu pada konsep KUHPerdata yakni sistem tanggung jawab
atas dasar kesalahan (based on fault
liability) yang harus dibuktikan oleh tergugat, akan sangat kesulitan
sekali.
Pasalnya, masyarakat sebagai
penggugat akan sangat kesulitan untuk membuktikan kesalahan PT LBHI baik dari
segi teknik pengeboran, penggunaan alat pengeboran, pemasangan selubung (casing) yang tentunya memerlukan tenaga
ahli dan teknologi canggih. ”Faktanya, Medco mengajukan gugatan Arbitrase
terhadap PT LBI karena tidak memasang selubung (casing). Ini yang harus diterapkan pembuktian terbalik,” paparnya.
Pelanggaran UU
Senada dengan Suharto, Pakar
Hukum Lingkungan dari Universitas Airlangga Dr Suparto Wijoyo mengungkapkan
bahwa PT LBI telah melakukan banyak pelanggaran atas selusin UU, mulai
Perindustrian, Konservasi, Lingkungan Hidup, Jalan, Lalu Lintas, Migas, Penataan
ruang, pertambangan, agraria, kesehatan, sumber daya air dan terorisme.
”Jadi sebenarnya tidak perlu
dibuktikan apakah Lapindo memiliki unsur sengaja atau alpa, tetapi kegiatan
pengeboran yang akhirnya menyebabkan semburan lumpur yang merusak lingkungan
sudah cukup untuk memidanakan perseroan tersebut,” ujarnya.
Direktur Pascasarjana Ubhara
Prof. Dr. Prasetijo Rijadi SH Mhum mengungkapkan bahwa lemahnya penegakan hukum
dalam kasus Lapindo ini menunjukkan juga lemahnya budaya hukum untuk mewujudkan
hukum yang tegas dan adil di negeri ini. Oleh karenanya, perlunya aparat
penegak hukum, masyarakat meningkatkan kesadaran hukumnya agar terwujud
penegakan hukum yang konsisten dan baik. ri
Dimuat di Harian Surabaya Pagi, 3/3/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar