EKONOM Kwik Kian Gie mengungkapkan, sebenarnya sejak kelahiran Bank Century (BC) sudah bermasalah beserta keseluruhan proses kerusakannya dibiarkan secara sistemik oleh BI. Sebagai bukti, Laporan Keuangan Bank Pikko dan Bank CIC, yang dinyatakan disclaimer oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), dijadikan dasar merger. Pemegang saham pengendali yang tidak memenuhi fit and proper test tetap dipertahankan. Pengurus bank, yaitu direksi dan komisaris, ditunjuk tanpa melalui fit and proper test.
Oleh karena kesulitan likuiditas
yang dihadapinya, BC mengajukan permohonan fasilitas pinjaman jangka pendek
(FPJP) kepada BI pada tanggal 30 Oktober 2008 sebesar Rp 1 triliun. Permohonan
tersebut diulangi pada 3 November 2008. “Karena pada saat mengajukan permohonan
FPJP, posisi CAR BC menurut analisis BI adalah positif 2,35 % (posisi 30
September 2008), sedangkan persyaratan untuk memperoleh FPJP sesuai dengan PBI
No. 10/26/PB/2008 tentang FPJP Bank Umum, CAR-nya minimal harus 8 %, BC tidak
memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP,” katanya.
Karenanya, secara sistemik, pada
14 November 2008, BI mengubah Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai
persyaratan pemberian FPJP dari semula CAR minimal 8% menjadi CAR minimal
positif (asalkan di atas 0%). Dengan perubahan ketentuan tersebut dan dengan
menggunakan posisi CAR per 30 September 2008 sebesar positif 2,35%, BI
menyatakan bahwa BC memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP.
“Padahal. hasil penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa CAR BC pada 31 Oktober 2008 sudah negatif 3,53%,
sehingga seharusnya BC tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP. “Selain
itu, sebagian jaminan FPJP yang diperjanjikan sebesar Rp. 469,99 miliar ternyata
tidak secured,” tegasnya.
Berdasarkan perubahan PBI
tersebut, pada 14 November 2008, BI menyetujui pemberian FPJP kepada BC. Jumlah
FPJP yang telah disalurkan kepada BC adalah Rp 689,39 miliar yang dicairkan
pada 14 November 2008 sebesar Rp 356,81 miliar, 17 November 2008 sebesar Rp
145,26 miliar, dan 18 November 2008 sebesar Rp. 187,32 miliar.
Selain itu secara sistemik, BC
digerogoti oleh pemilik dan atau manajemennya sendiri, yang secara sistemik
pula dibiarkan oleh BI. “Faktanya sebagai berikut. Setelah BC
ditempatkan dalam pengawasan khusus pada 6 November 2008, BI tidak mengizinkan
penarikan dana dari pihak terkait yang tersimpan dalam BC. (PBI No.
6/9/PBI/2004 yang diubah dengan PBI No. 7/38/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut
Pengawasan dan Penetapan Status Bank). Namun, setelah itu toh ada penarikan
dana oleh pihak terkait sebagai berikut, Rp. 454,898 miliar, USD 2,22
juta, AUD 164,81 ribu, dan SGD 41,28
ribu.
Pada 14 November 2008, Robert
Tantular (RT) memerintahkan BC Cabang Surabaya memindahkan deposito milik salah
satu nasabah BC senilai USD 96 juta dari kantor Cabang Surabaya-Kertajaya ke Kantor Pusat
Operasional (KPO) Senayan. Setelah itu, Dewi Tantular (DT) dan RT mencairkan
deposito tersebut senilai USD 18 juta tanggal 15 November 2008 yang digunakan
oleh DT (Kepala Divisi Bank Notes) untuk menutupi kekurangan bank notes yang
telah digunakan untuk keperluan pribadi DT; DT telah menjual bank notes ke luar
negeri dengan jumlah yang melebihi jumlah yang tercatat, sehingga secara
akumulatif terjadi selisih kurang antara fisik bank notes dan catatan
akuntansi. Deposito milik nasabah tersebut kemudian diganti oleh BC dengan dana
yang berasal dari FPJP.
Suntikan dana sebesar Rp 6,72
triliun kepada BC sendiri lanjut Kwik, dinyatakan untuk menghindari kerusakan
sistem perbankan Indonesia
secara sistemik. Padahal jika kita lihat fungsi BC dalam industri perbankan
hanya 0,68 % dalam rasio DPB bank/DPK industri dan rasio kredit bank/kredit
industri hanya 0,42 %.
“Maka, fungsi BC dalam industri
perbankan tidak ada artinya sama sekali. Di mana sistemiknya? Mungkin sangat
berarti untuk pihak-pihak tertentu yang menggunakan BC sebagai pencuci uang dan
berbagai praktik kotor yang masih harus dibuktikan oleh laporan final oleh
BPK,” tegasnya. sp/win/ho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar