Bailout Century Langgar Aturan
Skandal keuangan perbankan di Bank Century terus mengelinding. Skandal
yang berawal dari rapat yang dipimpin
oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 20-21 November
2008 lalu yang hasilnya memutuskan untuk menyelamatkan Bank Century dengan
memberikan suntikan modal hingga Rp 6,7 triliun kini menuai protes. Apalagi
ketika dalam audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengindikasikan
adanya pelanggaran dalam pengucuran dana talangan Rp 6,7 miliar tersebut.
HASIL audit BPK yang serahkan pada DPR pada 23 November 2009 lalu,
mengungkapkan ada lima poin yang mengindikasikan pelanggaran bailout Bank
Century, diantaranya, pertama, Mengenai proses merger dan
pengawasan Bank Century oleh BI. Disini BPK menilai, dalam proses akuisisi dan
merger Bank Danpac, Bank CIC dan Bank Pikko menjadi Bank Century, BI bersikap
tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan yang
ditetapkannya sendiri.
BI juga dinilai tidak bertindak
tegas dalam pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Bank Century selama 2005
sampai 2008. Seperti BI tidak menempatkan Bank Century sebagai bank dalam
pengawasan khusus meskipun CAR bank Century telah negatif 132,5%. BI memberikan
keringanan sanksi denda atas pelanggaran posisi devisa netto atau PDN sebesar
50% atau Rp 11 miliar dan BI tidak mengenakan sanksi pidana atas pelanggaran
BMPK.
Kedu`, Pemberian FPJP
(Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek), BI patut diduga melakukan perubahan
persyarakatan CAR dalam PBI agar Bank Century bisa mendapatkan FPJP. Pada saat
pemberian FPJP, CAR Bank Century negatif 3,53%. Hal ini melanggar ketentuan PBI
nomor 10/30/PBI/2008. Selain itu, nilai jaminan FPJP yang diperjanjikan hanya
sebesar 83% sehingga melanggar ketentuan PBI no 10/30/PBI/2008 yang menyatakan
bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari plafon FPJP.
Ketiga, Penetapan Century
sebagai bank gagal berdampak sistemik dan penanganannya oleh LPS, disini BI
dinilai tidak memberika informasi sepenuhnya, lengkap dan mutakhir pada saat
menyampaikan bank Century sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik
kepada KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan). Informasi yang tidak utuh
tersebut terkait PPAP atas SSB (Surat-Surat Berharga), SSB valas yang
mengakibatkan penurunan ekuitas yang menurunkan kecukupan modal (CAR) dan
meningkatkan biaya penanganan. BI baru menerapkan secara tegas ketentuan PPAP
atas aktiva-aktiva produktif setelah Bank Century diserahkan penanganannya
kepada LPS, sehingga terjadi peningkatan biaya penanganan Bank Century dari
yang semula diperkirakan sebesar Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.
BI dan KSSK juga tidak memiliki
kriteria yang terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century tetapi
penetapannya lebih pada judgement. Proses pengambilan keputusan tersebut tidak
dilakukan berdasarkan data kondisi bank yang lengkap dan mutakhir serta tidak
berdasarkan pada kriteria yang terukur. KSSK menetapkan Bank Century sebagai
bank gagal, berdampak sistemik serta menetapkan penanganannya kepada LPS dengan
mengacu pada Perppu No. 4/2008.
Dari semua ketentuan yang ada
menunjukkan bahwa pada saat penyerahan Bank Century dari komite koordinasi
kepada LPS tanggal 21 November 2008 itu kelembaggan komite koordinasi yang
beranggotakan Menkeu sebagai ketua, Gubernur BI sebagai anggota dan Ketua Dewan
Komisioner LPS sebagai anggota belum pernah dibentuk berdasarkan UU.
Selain itu, Keputusan KSSK
tentang penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik tanpa
menyebutkan biaya penanganan yang harus dikeluarkan oleh LPS. Sampai saat ini,
LPS belum secara resmi menetapkan perhitungan perkiraan biaya penanganan
perkara. Hal tersebut melanggar ketentuan Peraturan LPS No. 5/PLPS/2006 (PLPS
No. 5) Pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa LPS menghitung dan menetapkan
perkiraan biaya penanganan gagal berdampak sistemik.
Penyaluran PMS (Penyertaan Modal
Sementara) sebesar Rp 6,7 triliun dilakukan melalui 4 tahap. Keempat tahap
tersebut tambahan PMS yang tahap II sebesar Rp 2,2 triliun tidak dibahas dengan
Komite Koordinasi. Hal ini bertentangan dengan pasal 33 PLPS No. 5. Dimana
intinya, selama bank gagal sistemik dalam penanganan LPS, maka LPS harus
meminta komite koordinasi untuk membahas permasalahan bank serta
langkah-langkah yang diambil kepada komite koordinasi.
PMS tahap II yang sebesar Rp 2,2
triliun tersebut disalurkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dengan
permintaan dari manajemen Bank Century. Padahal ketentuan dalam PLPS No. 5
tidak memungkinkan LPS untuk memberikan bantuan dalam rangka memenuhi kebutuhan
likuiditas. Kemudian LPS melakukan perubahan ketentuan dari PLPS No. 5 dengan
PLPS No. 3 Tahun 2008 tanggal 5 Desember 2008 dimana LPS dapat memenuhi
kebutuhan likuiditas bank gagal sistemik. Dan pada tanggal yang sama, Dewan
Komisioner LPS memutuskan untuk menambah biaya penanganan Bank Century untuk
memenuhi likuiditas sebesar Rp 2,2 triliun.
Demikian patut diduga bahwa
perubahan PLPS merupakan rekayasa yang dilakukan agar Bank Century dapat
memperoleh tambahan PMS.
Berdasarkan dokumen notulensi
rapat paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008, penjelasan Ketua DPR periode
2004-2009, surat Ketua DPR RI kepada Ketua BPK pada tanggal 1 September 2009
perihal permintaan audit investigasi dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu
terhadap Bank Century serta berdasarkan laporan Komisi XI DPR mengenai
pembahasan laporan kemajuan pemeriksaan investigasi kasus Bank Century dalam
rapat paripurna DPR tanggal 30 September 2009, DPR menyatakan bahwa Perppu No. 4
tahun 2008 tentang JPSK ditolak oleh DPR. Penyertaan Modal Sementara kepada
Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun, dari jumlah tersebut di antaranya sebesar
Rp 2,8 triliun disalurkan setelah tanggal 18 Desember 2008. Sebagian PMS tahap
II sebesar Rp 1,1 triliun, PMS tahap III sebesar Rp 1,15 triliun dan PMS tahap
IV sebesar Rp 630,2 miliar, BPK berpendapat bahwa penyaluran dana PMS kepada
Bank Century setelah tanggal 18 Desember 2008 tidak memiliki dasar hukum.
Keempat, Penggunaan Dana
FPJP dan PMS. Disini, penarikan dana dari pihak terkait dalam periode Bank
Century ditempatkan dalam pengawasan khusus yakni pada 6 November 2008 sampai
11 Agustus 2009 sebesar ekuivalen Rp 938,65 miliar melanggar ketentuan PBI No.
6 /9/PBI 2004 tentang tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank
sebagaimana diubah dengan PBI No 7/38/PBI/2005 yang menyatakan bahwa bank
berstatus dalam pengawasan khusus dilarang melakukan transaksi dengan pihak
terkait dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan BI kecuali telah memperoleh
eprsetujuan BI.
Bank Century telah mengalami
kerugian karena mengganti deposito milik salah satu nasabah Bank Century yang
dipinjamkan atau digelapkan sebesar AS$18 juta dengan dana yang berasal dari
PMS. Selain itu, pemecahan deposito nasabah tersebut menjadi 247 Negotiable
Certificate Deposit (NCD) dengan nilai nominal masing-masing Rp2 miliar
dilakukan untuk mengantisipasi jika Bank Century ditutup maka deposito nasabah
tersebut termasuk deposito yang dijamin oleh LPS.
Kelima, Praktik-praktik
tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank, pemegang
saham dan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan Bank Century yang merugikan
Bank Century.
Dalam penanganan Bank Century,
LPS telah mengeluarkan biaya penanganan untuk penyertaan modal sementara
sebesar Rp 6,7 triliun yang digunakan untuk menutupi kerugian Bank Century.
Dari jumlah tersebut sebesar Rp 5,86 triliun merupakan kerugian Bank Century
akibat adanya praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan
yang dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham maupun pihak terkait Bank
Century.
Karena Bank Century ditetapkan
sebagai bank gagal, dan penanganannya dilakukan oleh LPS, maka kerugian itu
harus ditutup melalui penyertaan modal sementara oleh LPS yang merupakan bagian
dari keuangan negara. Permasalah-permasalahan yang timbul adalah permasalahan
surat-surat berharga dan transaksi-transaksi pada Bank Century yang
mengakibatkan kerugian Bank Century. Kemudian praktek-praktek perbankan yang
tidak sehat yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus dan pihak terkait
lainnya diduga melanggar Pasal 8 ayat (1), Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 serta
Pasal 50 a UU No. 10/1998 tentang perubahan atas UU No. 7/1992 tentang
Perbankan telah merugikan Bank Century sekurang-kurangnya sebesar Rp 6,32
triliun yang pada akhirnya kerugian tersebut ditutup dengan dana PMS dari LPS.
Perampokan Perbankan
Berdasarkan hasil audit
investigasi BPK di atas, Tim Indonesia Bangkit (TIB) menilai pemberian dana
talangan (bailout) Bank Century tidak ada kaitannya dengan krisis global namun
merupakan tindakan kriinal murni berupa perampokan perbankan.
"Dari hasil audit BPK
jelas-jelas menunjukkan ini kriminal murni. Bank Century ini pelanggaran hukum
positif," kata pengamat ekonomi dari Tim Indonesia Bangkit (TIB)
Ichsanudin Noorsy.
Lebih lanjut Ichsanudin
mengatakan hasil audit investigasi BPK justru sudah sangat jelas menunjukkan
dana bailout ilegal untuk menutupi kerugian Bank Century akibat para pengelola.
Ia mengatakan, dalam penanganan kasus pimpinan nonaktif KPK Bibit-Chandra,
Presiden Yudhoyono berkali-kali dalam pidatonya menyatakan tidak ingin
mencampuri penegakan hukum. "Artinya Presiden menempatkan hukum sebagai
panglima," katanya.
Karena itu, lanjut dia,
seharusnya kasus bailout Bank Century ini juga diproses secara hukum. Jika
hasil audit BPK tidak ditindaklanjuti, katanya, maka tidak ada gunanya good corporate governance.
Ichsanudin mengharapkan adanya ketegasan sikap Presiden Yudhoyono untuk
menegakkan hukum dengan membuka aliran dana talangan Bank Century.
Pengambiilan Keputusan
Sementara Ekonom Dradjad Wibowo
berusaha mengurai adanya kejanggalan dalam mekanisme pengambilan keputusan bailout
Bank Century. Menurut anggota komisi keuangan DPR 2004-2009 ini usulan dana
muncul pada rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 21 November
2008.
"Rapatnya setelah tengah
malam sampai dhni hari," katanya. Rapat itu membahas seputar penyelamatan
Bank Century. Bank Indonesia,
dia melanjutkan, saat itu menyampaikan argumentasi bahwa Century adalah bank
gagal yang sistemik.
Rapat itu juga dihadiri Badan
Kebijakan Fiskal, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Badan Pengawas Pasar Modal.
"Sayang rapat tidak secara tuntas menguji sistemik Bank Century,"
ujar ekonom Indef itu.
Dari notulensi rapat yang dikantonginya,
Dradjad mengatakan rapat masih belum menyetujui prinsip sistemik. Pasalnya ada
pendapat yang menyatakan kalau bank kecil seperti Century berdampak sistemik,
bisa timbulkan persepsi perbankan Indonesia sangat rentan.
"Tidak didukung oleh data yang kuat," katanya.
Argumen lain yang berkembang
adalah penutupan Bank Century, asal diikuti pengembalian uang nasabah secara
cepat, bisa menguntungkan pemerintah. "Dengan menjual asetnya," kata
Dradjad.
Namun, kemudian Menteri Keuangan
Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono, serta Ketua Komite Kebijakan
Sektor Keuangan memutuskan menggulirkan dana talangan yang awalnya sebesar Rp
4,99 triliun dan menggelembung jadi Rp 6,7 triliun. "Antara pembahasan di
rapat dan pengambilan keputusan ada yang tidak nyambung," kata Dradjad.
Dia menduga pengambil keputusan sudah memiliki pemikiran bank itu harus
diselamatkan. win/ho/eti/ti
Data Kejanggalan Kasus Century
1. Info yang dipakai Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak cukup lengkap dan memadai sebagai dasar
penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
2 Bank Indonesia (BI) dan KSSK
tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century,
tetapi penetapannya lebih didasarkan pada judgement.
3. Komite Koordinasi (KK) yang
beranggota menteri keuangan, gubernur BI, dan ketua dewan komisioner Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) belum pernah dibentuk berdasar Undang Undang
4. Keputusan KSSK tidak
menyebutkan biaya penanganan oleh LPS.
Hal ini melanggar ketentuan Peraturan LPS No. 5/PLPS/2006 pasal 6.
5. LPS tidak meminta persetujuan
Komite Koordinasi (KK) saat menyalurkan dana talangan tahap kedua Rp 2,2 triliun.
Hal ini bertentangan dengan peraturan LPS No. 5/PLPS/2006 pasal 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar