Banner

Banner Blog

11/03/12

Mengendus Kejanggalan Kasus Century




Bailout Century Langgar Aturan

Skandal keuangan perbankan di Bank Century terus mengelinding. Skandal yang  berawal dari rapat yang dipimpin oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 20-21 November 2008 lalu yang hasilnya memutuskan untuk menyelamatkan Bank Century dengan memberikan suntikan modal hingga Rp 6,7 triliun kini menuai protes. Apalagi ketika dalam audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengindikasikan adanya pelanggaran dalam pengucuran dana talangan Rp 6,7 miliar tersebut.  

HASIL audit BPK yang serahkan pada DPR pada 23 November 2009 lalu, mengungkapkan ada lima poin yang mengindikasikan pelanggaran bailout Bank Century, diantaranya, pertama, Mengenai proses merger dan pengawasan Bank Century oleh BI. Disini BPK menilai, dalam proses akuisisi dan merger Bank Danpac, Bank CIC dan Bank Pikko menjadi Bank Century, BI bersikap tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan yang ditetapkannya sendiri.


BI juga dinilai tidak bertindak tegas dalam pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Bank Century selama 2005 sampai 2008. Seperti BI tidak menempatkan Bank Century sebagai bank dalam pengawasan khusus meskipun CAR bank Century telah negatif 132,5%. BI memberikan keringanan sanksi denda atas pelanggaran posisi devisa netto atau PDN sebesar 50% atau Rp 11 miliar dan BI tidak mengenakan sanksi pidana atas pelanggaran BMPK.
Kedu`, Pemberian FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek), BI patut diduga melakukan perubahan persyarakatan CAR dalam PBI agar Bank Century bisa mendapatkan FPJP. Pada saat pemberian FPJP, CAR Bank Century negatif 3,53%. Hal ini melanggar ketentuan PBI nomor 10/30/PBI/2008. Selain itu, nilai jaminan FPJP yang diperjanjikan hanya sebesar 83% sehingga melanggar ketentuan PBI no 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari plafon FPJP.
Ketiga, Penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan penanganannya oleh LPS, disini BI dinilai tidak memberika informasi sepenuhnya, lengkap dan mutakhir pada saat menyampaikan bank Century sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik kepada KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan). Informasi yang tidak utuh tersebut terkait PPAP atas SSB (Surat-Surat Berharga), SSB valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang menurunkan kecukupan modal (CAR) dan meningkatkan biaya penanganan. BI baru menerapkan secara tegas ketentuan PPAP atas aktiva-aktiva produktif setelah Bank Century diserahkan penanganannya kepada LPS, sehingga terjadi peningkatan biaya penanganan Bank Century dari yang semula diperkirakan sebesar Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.
BI dan KSSK juga tidak memiliki kriteria yang terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century tetapi penetapannya lebih pada judgement. Proses pengambilan keputusan tersebut tidak dilakukan berdasarkan data kondisi bank yang lengkap dan mutakhir serta tidak berdasarkan pada kriteria yang terukur. KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal, berdampak sistemik serta menetapkan penanganannya kepada LPS dengan mengacu pada Perppu No. 4/2008.
Dari semua ketentuan yang ada menunjukkan bahwa pada saat penyerahan Bank Century dari komite koordinasi kepada LPS tanggal 21 November 2008 itu kelembaggan komite koordinasi yang beranggotakan Menkeu sebagai ketua, Gubernur BI sebagai anggota dan Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota belum pernah dibentuk berdasarkan UU.
Selain itu, Keputusan KSSK tentang penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik tanpa menyebutkan biaya penanganan yang harus dikeluarkan oleh LPS. Sampai saat ini, LPS belum secara resmi menetapkan perhitungan perkiraan biaya penanganan perkara. Hal tersebut melanggar ketentuan Peraturan LPS No. 5/PLPS/2006 (PLPS No. 5) Pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa LPS menghitung dan menetapkan perkiraan biaya penanganan gagal berdampak sistemik.
Penyaluran PMS (Penyertaan Modal Sementara) sebesar Rp 6,7 triliun dilakukan melalui 4 tahap. Keempat tahap tersebut tambahan PMS yang tahap II sebesar Rp 2,2 triliun tidak dibahas dengan Komite Koordinasi. Hal ini bertentangan dengan pasal 33 PLPS No. 5. Dimana intinya, selama bank gagal sistemik dalam penanganan LPS, maka LPS harus meminta komite koordinasi untuk membahas permasalahan bank serta langkah-langkah yang diambil kepada komite koordinasi.
PMS tahap II yang sebesar Rp 2,2 triliun tersebut disalurkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dengan permintaan dari manajemen Bank Century. Padahal ketentuan dalam PLPS No. 5 tidak memungkinkan LPS untuk memberikan bantuan dalam rangka memenuhi kebutuhan likuiditas. Kemudian LPS melakukan perubahan ketentuan dari PLPS No. 5 dengan PLPS No. 3 Tahun 2008 tanggal 5 Desember 2008 dimana LPS dapat memenuhi kebutuhan likuiditas bank gagal sistemik. Dan pada tanggal yang sama, Dewan Komisioner LPS memutuskan untuk menambah biaya penanganan Bank Century untuk memenuhi likuiditas sebesar Rp 2,2 triliun.
Demikian patut diduga bahwa perubahan PLPS merupakan rekayasa yang dilakukan agar Bank Century dapat memperoleh tambahan PMS.
Berdasarkan dokumen notulensi rapat paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008, penjelasan Ketua DPR periode 2004-2009, surat Ketua DPR RI kepada Ketua BPK pada tanggal 1 September 2009 perihal permintaan audit investigasi dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap Bank Century serta berdasarkan laporan Komisi XI DPR mengenai pembahasan laporan kemajuan pemeriksaan investigasi kasus Bank Century dalam rapat paripurna DPR tanggal 30 September 2009, DPR menyatakan bahwa Perppu No. 4 tahun 2008 tentang JPSK ditolak oleh DPR. Penyertaan Modal Sementara kepada Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun, dari jumlah tersebut di antaranya sebesar Rp 2,8 triliun disalurkan setelah tanggal 18 Desember 2008. Sebagian PMS tahap II sebesar Rp 1,1 triliun, PMS tahap III sebesar Rp 1,15 triliun dan PMS tahap IV sebesar Rp 630,2 miliar, BPK berpendapat bahwa penyaluran dana PMS kepada Bank Century setelah tanggal 18 Desember 2008 tidak memiliki dasar hukum.
Keempat, Penggunaan Dana FPJP dan PMS. Disini, penarikan dana dari pihak terkait dalam periode Bank Century ditempatkan dalam pengawasan khusus yakni pada 6 November 2008 sampai 11 Agustus 2009 sebesar ekuivalen Rp 938,65 miliar melanggar ketentuan PBI No. 6 /9/PBI 2004 tentang tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank sebagaimana diubah dengan PBI No 7/38/PBI/2005 yang menyatakan bahwa bank berstatus dalam pengawasan khusus dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan BI kecuali telah memperoleh eprsetujuan BI.
Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik salah satu nasabah Bank Century yang dipinjamkan atau digelapkan sebesar AS$18 juta dengan dana yang berasal dari PMS. Selain itu, pemecahan deposito nasabah tersebut menjadi 247 Negotiable Certificate Deposit (NCD) dengan nilai nominal masing-masing Rp2 miliar dilakukan untuk mengantisipasi jika Bank Century ditutup maka deposito nasabah tersebut termasuk deposito yang dijamin oleh LPS.
Kelima, Praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank, pemegang saham dan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan Bank Century yang merugikan Bank Century.
Dalam penanganan Bank Century, LPS telah mengeluarkan biaya penanganan untuk penyertaan modal sementara sebesar Rp 6,7 triliun yang digunakan untuk menutupi kerugian Bank Century. Dari jumlah tersebut sebesar Rp 5,86 triliun merupakan kerugian Bank Century akibat adanya praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan yang dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham maupun pihak terkait Bank Century.
Karena Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal, dan penanganannya dilakukan oleh LPS, maka kerugian itu harus ditutup melalui penyertaan modal sementara oleh LPS yang merupakan bagian dari keuangan negara. Permasalah-permasalahan yang timbul adalah permasalahan surat-surat berharga dan transaksi-transaksi pada Bank Century yang mengakibatkan kerugian Bank Century. Kemudian praktek-praktek perbankan yang tidak sehat yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus dan pihak terkait lainnya diduga melanggar Pasal 8 ayat (1), Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 serta Pasal 50 a UU No. 10/1998 tentang perubahan atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan telah merugikan Bank Century sekurang-kurangnya sebesar Rp 6,32 triliun yang pada akhirnya kerugian tersebut ditutup dengan dana PMS dari LPS.

Perampokan Perbankan
Berdasarkan hasil audit investigasi BPK di atas, Tim Indonesia Bangkit (TIB) menilai pemberian dana talangan (bailout) Bank Century tidak ada kaitannya dengan krisis global namun merupakan tindakan kriinal murni berupa perampokan perbankan.
"Dari hasil audit BPK jelas-jelas menunjukkan ini kriminal murni. Bank Century ini pelanggaran hukum positif," kata pengamat ekonomi dari Tim Indonesia Bangkit (TIB) Ichsanudin Noorsy.
Lebih lanjut Ichsanudin mengatakan hasil audit investigasi BPK justru sudah sangat jelas menunjukkan dana bailout ilegal untuk menutupi kerugian Bank Century akibat para pengelola. Ia mengatakan, dalam penanganan kasus pimpinan nonaktif KPK Bibit-Chandra, Presiden Yudhoyono berkali-kali dalam pidatonya menyatakan tidak ingin mencampuri penegakan hukum. "Artinya Presiden menempatkan hukum sebagai panglima," katanya.
Karena itu, lanjut dia, seharusnya kasus bailout Bank Century ini juga diproses secara hukum. Jika hasil audit BPK tidak ditindaklanjuti, katanya, maka tidak ada gunanya good corporate governance. Ichsanudin mengharapkan adanya ketegasan sikap Presiden Yudhoyono untuk menegakkan hukum dengan membuka aliran dana talangan Bank Century.

Pengambiilan Keputusan
Sementara Ekonom Dradjad Wibowo berusaha mengurai adanya kejanggalan dalam mekanisme pengambilan keputusan bailout Bank Century. Menurut anggota komisi keuangan DPR 2004-2009 ini usulan dana muncul pada rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 21 November 2008.
"Rapatnya setelah tengah malam sampai dhni hari," katanya. Rapat itu membahas seputar penyelamatan Bank Century. Bank Indonesia, dia melanjutkan, saat itu menyampaikan argumentasi bahwa Century adalah bank gagal yang sistemik.
Rapat itu juga dihadiri Badan Kebijakan Fiskal, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Badan Pengawas Pasar Modal. "Sayang rapat tidak secara tuntas menguji sistemik Bank Century," ujar ekonom Indef itu.
Dari notulensi rapat yang dikantonginya, Dradjad mengatakan rapat masih belum menyetujui prinsip sistemik. Pasalnya ada pendapat yang menyatakan kalau bank kecil seperti Century berdampak sistemik, bisa timbulkan persepsi perbankan Indonesia sangat rentan. "Tidak didukung oleh data yang kuat," katanya.
Argumen lain yang berkembang adalah penutupan Bank Century, asal diikuti pengembalian uang nasabah secara cepat, bisa menguntungkan pemerintah. "Dengan menjual asetnya," kata Dradjad.
Namun, kemudian Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono, serta Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan memutuskan menggulirkan dana talangan yang awalnya sebesar Rp 4,99 triliun dan menggelembung jadi Rp 6,7 triliun. "Antara pembahasan di rapat dan pengambilan keputusan ada yang tidak nyambung," kata Dradjad. Dia menduga pengambil keputusan sudah memiliki pemikiran bank itu harus diselamatkan. win/ho/eti/ti



Data Kejanggalan Kasus Century
1. Info yang dipakai Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak cukup lengkap dan memadai sebagai dasar penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
2 Bank Indonesia (BI) dan KSSK tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century, tetapi penetapannya lebih didasarkan pada judgement.
3. Komite Koordinasi (KK) yang beranggota menteri keuangan, gubernur BI, dan ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) belum pernah dibentuk berdasar Undang Undang
4. Keputusan KSSK tidak menyebutkan biaya penanganan oleh LPS.  Hal ini melanggar ketentuan Peraturan LPS No. 5/PLPS/2006 pasal 6.
5. LPS tidak meminta persetujuan Komite Koordinasi (KK) saat menyalurkan dana talangan tahap kedua Rp 2,2 triliun. Hal ini bertentangan dengan peraturan LPS No. 5/PLPS/2006 pasal 33





Tidak ada komentar: