Terkait Gugatan Perdata Soeharto
Pasca keluarnya Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) terhadap mantan Presiden Soeharto oleh
Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 2006 lalu, secara otomatis menghentikan aspek
pidananya. Kandati begitu, terhadap perkara korupsi tujuh yayasan, yang
merugikan negara Rp 1,7 triliun ini, masih terbuka peluang jika ingin
memperoleh kembali harta yang diduga dikorupsi oleh mantan penguasa Orde Baru
itu. Caranya, dengan mengajukan gugatan
perdata. Inilah yang coba dilakukan Kajagung pada akhir Pebruari 2007 nanti.
Mampukah kejaksaan yang mewakili negara sedapat mungkin mengembalikan keuangan
negara yang dikorupsi Soeharto? Apa kendalanya?
RENCANA Kejagung
untuk melakukan gugatan perdata atas perkara korupsi tujuh yayasan yang
merugikan negara Rp 1,7 triliun layak disambut baik. Karena itulah peluang untuk mengembalikan
kerugian negara, mengingat ia masih hidup, sehingga masih bisa diusut.
Dalam kasus ini memang dibutuhkan
keberanian baik dari sisi aparat maupun pemerintah. Pasalnya, kasus yang
melibatkan Soeharto itu bukan kasus hukum semata, kasusnya banyak di warnai
oleh kasus politik yang melibatkan pejabat publik di negeri ini. Semuanya turut
serta dalam memajukan dan mendukung kekuasaan Soeharto.
Bagaimanapun, harus diakui posisi
Soeharto di negeri ini masih cukup kuat. Jaringan masih luas, dan orang-orang
yang loyal terhadapnya juga masih menduduki jabatan penting di negeri ini.
Sehingga good will pemerintah sangat diharapkan untuk mendukung kasus
ini.
Apalagi dalam perkara hukum, dikenal
perkara pidana dan perdata. Dan soal pengajuannya ke pengadilan bisa diajukan
secara bersamaan ataupun tidak. Secara umum, gugatan perdata itu tidak harus
menunggu putusan pidana. Karena dalam pidana itu yang dilihat adalah
perbuatannya dan pertanggungjawaban pidana, sedangjan di dalam perkara perdata
yang dinilai adalah ganti rugi.
Sehingga, menurut Dosen FH Universitas Narotama Surabaya, M. Yusron Marzuki SH, MH, rencana Kejagung untuk mengajukan gugatan perdata terhadap Soeharto bisa dilakukan meskipun putusan terhadap perkara pidana belum dijatuhkan oleh majelis hakim dan sudah keluar SKP3.
Kejagung tidak perlu ragu untuk mengajukan gugatan tersebut. Mengenai dasar hukumnya, yaitu pasal 1365, perbuatan melanggar hukum. Walau, unsur-unsur melanggar hukum ini masih harus dicari.
Kategori Melanggar Hukum
Secara umum, ada empat unsur kategori melanggar hukum itu, yaitu, bertentangan dengan kewajiban orang lain, bertentangan dengan hak individu, bertentangan dengan tata aturan dan kaidah yang ada, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Keempat unsur inilah yang harus dibuktikan oleh Kejagung dalam mengajukan gugatan terhadap Soeharto.
Sependapat
dengan Yusron, Guru besar Ilmu Hukum
Universitas Hasanuddin, Prof Dr Ahmad Ali, SH juga menyatakan, Soeharto dapat
digugat secara perdata. Apalagi, dalam
persidangan perdata, gugatan dapat diwakilkan oleh pengacara. “Sehingga
Soeharto tidak perlu datang ke tempat persidangan karena kondisinya yang tidak
stabil,” katanya.
Hanya saja, sama
seperti Yusron, kata Ahmad, dalam melakukan gugatan perdata harus didukung oleh
bukti-bukti yang kuat. Hakim akan memutus perkara berdasarkan fakta-fakta dan
bukti-bukti yang kuat.
Tentunya, agar
negara dapat memperoleh kembali harta yang diduga dikorup, gugatan perdata
harus jelas dan kuat, ditunjang oleh bukti-bukti. “Penggugat harus dapat
membuktikan bahwa Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum,” kata
Ahmad.
Untuk itu, dalam
melakukan gugatan perdata harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Fakta dan
bukti kuat ini sebagai usaha agar negara dapat memperoleh kembali harta yang
diduga dikorupsi, makanya gugatannya harus jelas dan kuat.
Masalahnya,
dalam kasus perdata, bukti dan fakta yang kuat sangat menentukan bagi hakim
dalam memberikan putusannya. Pastinya, hakim akan memutus berdasarkan
data-data, fakta dan bukti yang ada, kuat dan jelas.
Butuh Waktu
Tak hanya itu,
dalam gugatan perdata ini adalah memerlukan waktu yang panjang. Nampaknya,
dalam kasus Soeharto, gugatan perdata bila berjalan butuh waktu yang tidak
hanya satu atau dua tahun. Bisa bertahun-tahun. Sedangkan bila dilihat dari
usia Soeharto sudah cukup senja, pertanyaannya mampukah Soeharto mengikuti proses gugatan itu sampai selesai. “Khawatirnya,
bila nantinya Soeharto meninggal dunia, tentunya kasus ini juga turut meninggal
juga,” kata Yusron..
Belum lagi jika
dalam perkembanganya, penguasa Orde Baru ini meninggal? Mengingat, dalam perkara perdata itu
membutuhkan waktu lama. Bisakah hal itu dialihkan ke ahli warisnya?
Memang jika perkara Soeharto ini tetap
dilakukan dalam lingkup pidana, bila mengacu pada pasal 77 KUHP, maka
penuntutan pidana hapus bila terdakwa atau tertuduh meninggal dunia. Tetapi,
karena kasus Soeharto adalah kasus korupsi, dan dalam UU No. 20/2001 tentang
perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal
34, gugatan bisa dialihkan ke ahli warisnya.
Lantas,
bagaimana jika dimasukkkan ke lingkup perdata? “Tentu saja bisa dialihkan ke
ahli warisnya, termasuk anak-anaknya,” tegas Yusron.
Hanya saja,
lanjut Yusron, lagi-lagi semua itu tergantung dari penggugatnya, apakah
penggugatnya mau meneruskan perkara ini ataukah tidak. Secara prosedural hal
itu bisa dilakukan, dengan mekanisme kuasa hukum Soeharto memberikan surat kematian kepada
hakim. Lalu hakim menunjukkan kepada penggugat dan menanyakan mau melanjutkan
atau tidak perkara tersebut.
Perjalanan Kasus Soeharto
Seperti diketahui, mantan presiden Soeharto
sebelumnya telah diajukan ke persidangan atas dugaan korupsi pada tujuh yayasan
yang dipimpinnya. Sayang tim dokter ahli yang berasal dari fakultas kedokteran
sejumlah perguruan tinggi negeri ditambah tenaga ahli dari Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) itu menilai, terdakwa tak layak secara fisik (akibat kerusakan
otak permanen) maupun mental untuk hadir di persidangan.
Keterangan tim
itu dijadikan referensi bagi Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, yang memeriksa
perkara tersebut, untuk mengeluarkan penetapan penghentian pemeriksaan kasus
atas Soeharto.
Atas penetapan tersebut, Mahkamah Agung
(MA) mengeluarkan fatwa agar Kejaksaan memberikan kesempatan pengobatan pada
Soeharto hingga sembuh, sebelum melanjutkan kembali pengadilan.
Pada akhir April lalu, Jaksa Agung
mengatakan pihaknya akan kembali memantau kesehatan mantan Presiden Soeharto
melalui koordinasi dengan Tim Penilai Kesehatan Soeharto. Namun, lagi-lagi
Soeharto kembali menjalani perawatan.
Setelah terkatung-katung cukup lama,
pasca penetapan SKP3, akhirnya kejagung mengambil jalan melakukan gugatan
perdata untuk mendapatkan kembali harta negara yang dikorupsi oleh penguasa
Orde Baru ini. Dan rencananya gugatan itu akan dilakukan pada akhir Pebruari
2007 ini. n ri/ru
Dimuat di Harian Surabaya Pagi, 21/2/2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar