Banner

Banner Blog

11/03/12

Pengembalian Uang Negara Bakal Terkendala Bukti



Terkait Gugatan Perdata Soeharto

Pasca keluarnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) terhadap mantan Presiden Soeharto oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 2006 lalu, secara otomatis menghentikan aspek pidananya. Kandati begitu, terhadap perkara korupsi tujuh yayasan, yang merugikan negara Rp 1,7 triliun ini, masih terbuka peluang jika ingin memperoleh kembali harta yang diduga dikorupsi oleh mantan penguasa Orde Baru itu. Caranya,  dengan mengajukan gugatan perdata. Inilah yang coba dilakukan Kajagung pada akhir Pebruari 2007 nanti. Mampukah kejaksaan yang mewakili negara sedapat mungkin mengembalikan keuangan negara yang dikorupsi Soeharto? Apa kendalanya?

RENCANA Kejagung untuk melakukan gugatan perdata atas perkara korupsi tujuh yayasan yang merugikan negara Rp 1,7 triliun layak disambut baik.  Karena itulah peluang untuk mengembalikan kerugian negara, mengingat ia masih hidup, sehingga masih bisa diusut.
Dalam kasus ini memang dibutuhkan keberanian baik dari sisi aparat maupun pemerintah. Pasalnya, kasus yang melibatkan Soeharto itu bukan kasus hukum semata, kasusnya banyak di warnai oleh kasus politik yang melibatkan pejabat publik di negeri ini. Semuanya turut serta dalam memajukan dan mendukung kekuasaan Soeharto. 


Bagaimanapun, harus diakui posisi Soeharto di negeri ini masih cukup kuat. Jaringan masih luas, dan orang-orang yang loyal terhadapnya juga masih menduduki jabatan penting di negeri ini. Sehingga good will pemerintah sangat diharapkan untuk mendukung kasus ini.
Apalagi dalam perkara hukum, dikenal perkara pidana dan perdata. Dan soal pengajuannya ke pengadilan bisa diajukan secara bersamaan ataupun tidak. Secara umum, gugatan perdata itu tidak harus menunggu putusan pidana. Karena dalam pidana itu yang dilihat adalah perbuatannya dan pertanggungjawaban pidana, sedangjan di dalam perkara perdata yang dinilai adalah ganti rugi.

Sehingga, menurut Dosen FH Universitas Narotama Surabaya, M. Yusron Marzuki SH, MH, rencana Kejagung untuk mengajukan gugatan perdata terhadap Soeharto bisa dilakukan meskipun putusan terhadap perkara pidana belum dijatuhkan oleh majelis hakim dan sudah keluar SKP3.

Kejagung tidak perlu ragu untuk mengajukan gugatan tersebut. Mengenai dasar hukumnya, yaitu pasal 1365, perbuatan melanggar hukum. Walau, unsur-unsur melanggar hukum ini masih harus dicari.

Kategori Melanggar Hukum

Secara umum, ada empat unsur kategori melanggar hukum itu, yaitu, bertentangan dengan kewajiban orang lain, bertentangan dengan hak individu, bertentangan dengan tata aturan dan kaidah yang ada, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Keempat unsur inilah yang harus dibuktikan oleh Kejagung dalam mengajukan gugatan terhadap Soeharto.

Sependapat dengan Yusron,  Guru besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, Prof Dr Ahmad Ali, SH juga menyatakan, Soeharto dapat digugat secara perdata. Apalagi,  dalam persidangan perdata, gugatan dapat diwakilkan oleh pengacara. “Sehingga Soeharto tidak perlu datang ke tempat persidangan karena kondisinya yang tidak stabil,” katanya.
Hanya saja, sama seperti Yusron, kata Ahmad, dalam melakukan gugatan perdata harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Hakim akan memutus perkara berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang kuat.
Tentunya, agar negara dapat memperoleh kembali harta yang diduga dikorup, gugatan perdata harus jelas dan kuat, ditunjang oleh bukti-bukti. “Penggugat harus dapat membuktikan bahwa Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum,” kata Ahmad.
Untuk itu, dalam melakukan gugatan perdata harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Fakta dan bukti kuat ini sebagai usaha agar negara dapat memperoleh kembali harta yang diduga dikorupsi, makanya gugatannya harus jelas dan kuat.
Masalahnya, dalam kasus perdata, bukti dan fakta yang kuat sangat menentukan bagi hakim dalam memberikan putusannya. Pastinya, hakim akan memutus berdasarkan data-data, fakta dan bukti yang ada, kuat dan jelas.

Butuh Waktu
Tak hanya itu, dalam gugatan perdata ini adalah memerlukan waktu yang panjang. Nampaknya, dalam kasus Soeharto, gugatan perdata bila berjalan butuh waktu yang tidak hanya satu atau dua tahun. Bisa bertahun-tahun. Sedangkan bila dilihat dari usia Soeharto sudah cukup senja, pertanyaannya mampukah Soeharto mengikuti proses  gugatan itu sampai selesai. “Khawatirnya, bila nantinya Soeharto meninggal dunia, tentunya kasus ini juga turut meninggal juga,” kata Yusron..
Belum lagi jika dalam perkembanganya, penguasa Orde Baru ini meninggal?  Mengingat, dalam perkara perdata itu membutuhkan waktu lama. Bisakah hal itu dialihkan ke ahli warisnya?
Memang jika perkara Soeharto ini tetap dilakukan dalam lingkup pidana, bila mengacu pada pasal 77 KUHP, maka penuntutan pidana hapus bila terdakwa atau tertuduh meninggal dunia. Tetapi, karena kasus Soeharto adalah kasus korupsi, dan dalam UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 34, gugatan bisa dialihkan ke ahli warisnya.
Lantas, bagaimana jika dimasukkkan ke lingkup perdata? “Tentu saja bisa dialihkan ke ahli warisnya, termasuk anak-anaknya,” tegas Yusron.
Hanya saja, lanjut Yusron, lagi-lagi semua itu tergantung dari penggugatnya, apakah penggugatnya mau meneruskan perkara ini ataukah tidak. Secara prosedural hal itu bisa dilakukan, dengan mekanisme kuasa hukum Soeharto memberikan surat kematian kepada hakim. Lalu hakim menunjukkan kepada penggugat dan menanyakan mau melanjutkan atau tidak perkara tersebut.

Perjalanan Kasus Soeharto

Seperti diketahui, mantan presiden Soeharto sebelumnya telah diajukan ke persidangan atas dugaan korupsi pada tujuh yayasan yang dipimpinnya. Sayang tim dokter ahli yang berasal dari fakultas kedokteran sejumlah perguruan tinggi negeri ditambah tenaga ahli dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu menilai, terdakwa tak layak secara fisik (akibat kerusakan otak permanen) maupun mental untuk hadir di persidangan.
Keterangan tim itu dijadikan referensi bagi Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, yang memeriksa perkara tersebut, untuk mengeluarkan penetapan penghentian pemeriksaan kasus atas Soeharto.
Atas penetapan tersebut, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan fatwa agar Kejaksaan memberikan kesempatan pengobatan pada Soeharto hingga sembuh, sebelum melanjutkan kembali pengadilan.
Pada akhir April lalu, Jaksa Agung mengatakan pihaknya akan kembali memantau kesehatan mantan Presiden Soeharto melalui koordinasi dengan Tim Penilai Kesehatan Soeharto. Namun, lagi-lagi Soeharto kembali menjalani perawatan.
Setelah terkatung-katung cukup lama, pasca penetapan SKP3, akhirnya kejagung mengambil jalan melakukan gugatan perdata untuk mendapatkan kembali harta negara yang dikorupsi oleh penguasa Orde Baru ini. Dan rencananya gugatan itu akan dilakukan pada akhir Pebruari 2007 ini. n ri/ru 

Dimuat di Harian Surabaya Pagi, 21/2/2007

Tidak ada komentar: