Banner

Banner Blog

11/03/12

Tuntutan AKP Tulus Pancing Disparitas Pidana




Ancaman hukuman terhadap anggota polisi yang terlibat kasus narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya (narkoba), seolah tak pernah lepas dari kontroversi ketika sudah sampai ke pengadilan. Seperti  yang saat ini tengah hangat dibicarakan, terkait keterlibatan salah seorang perwira polisi  yang bertugas di Polwiltabes Surabaya, AKP. Drs.Tulus Djunaedi, SH, yang hanya dituntut  10 bulan penjara oleh JPU. Bagaimana idealnya hukuman bagi para oknum polisi yang seharusnya sebagai aparat penegak hukum, yang wajib memerangi setiap bentuk kejahatan, termasuk peredaran narkoba, justru ikut menyalahgunakannya? Apakah hal ini tidak justru memancing disparitas (kesenjangan) pidana di masyarakat ?

DISPARITAS pidana mengandung arti perbedaan dalam pidana yang dijatuhkan untuk berbagai kejahatan. Perbedaan dalam pidana ini sering terjadi dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Sehingga acapkali penegakan hukum kita dinilai lebih bersifat diskriminatif, inkosisten, tidak memakai parameter objektif dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.
Biasanya, dalam hal ini para pelaku merasa membandingkan dengan orang yang sama sederajat pidananya dengan dirinya. Kenapa jenis pidananya sama, tapi hukuman jauh lebih ringan, sedangkan dirinya lebih berat. Pertanyaan itulah yang timbul di benak para terdakwa, yang efeknya berimbas pada kehidupannya di lembaga pemasyarakatan (LP).
Sebagai contoh, pencurian terhadap uang negara berjumlah miliaran rupiah dijatuhi pidana penjara 18 bulan, sedangkan pencurian sepasang sepatu dijatuhi pidana dua tahun penjara. Contoh lain, bandar narkoba yang kedapatan membawa ratusan ekstasi dihukum 10 bulan, sedangkan yang bawa 2 butir ekstasi dikenai 2 tahun penjara. Kondisi ini membuat publik mempertanyakan adakah kriteria dan parameter yang jelas bagi hakim untuk menjatuhkan pidana selain pidana maksimum.


Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH., MA., PhD.,  mengatakan cukup wajar jika akhirnya publik mempertanyakan. Apakah hakim telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dari sisi sosiologis, mengingat dalam kondisi disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (social justice).
Namun, Secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap melanggar hukum, karena, (a) undang-undang hanya menentukan pidana maksimum, (b) adanya kebebasan hakim yang merupakan salah satu pilar dari ”negara hukum”, dan (c) setiap kasus memiliki karakteristik masing-masing yang tidak mungkin disamakan.
Pertanyaan lanjutannya, apakah undang-undang yang dibuat melalui proses legislasi telah menunjukkan proporsionalitas antara kejahatan yang dilakukan dengan pidana yang diancamkan, antara satu kejahatan dengan kejahatan lain. Pasalnya, baik KUHP yang merupakan warisan Belanda, maupun undang-undang yang dihasilkan DPR selama ini juga tidak dilandasi pada satu perangkat parameter yang konkret dalam menentukan ancaman pidana.
Pertanyan ini harus mulai dijawab dari makna pidana dan konsep pemidanaan itu sendiri, apakah ia dijatuhkan semata sebagai harga yang harus dibayar pelaku kejahatan semata, ataukah harus memiliki tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat dan pelakunya. Seharusnya, jawaban akan falsafah pemidanaan tersirat dalam criminal policy.
Cukup ironis, karena sejarah pemidanaan di Indonesia menunjukkan bahwa kitab-kitab hukum kuno sudah menyiratkan falsafah pemidanaan, yang intinya pidana merupakan harga yang harus dibayar pelaku kejahatan, namun sekaligus harus punya tujuan yang lebih besar untuk masyarakat dan pelaku. Betapapun sulitnya hal ini dilakukan, karenanya, sudah masanya Indonesia memilih falsafah pemidanaan yang merupakan kompromi dan kumulasi pandangan yang ada dalam masyarakat yang heterogen ini, di sinilah peran legislatif menjadi sangat menentukan.

Transformasi pendidikan
Dalam proses penegakan hukum selalu ada unsur trasnformasi pendidikan. Karenanya, dengan adanya disparitas pidana sebenarnya menghilangkan unsur tadi, sehingga tidak jelas, mana yang harus dipilih, Karena itu Pakar Hukum Universitas 17 Agustus 45 (Untag) Krist L. Leiden, menganjurkan proses penegakan hukum itu ahrus selalu ada proses untuk mengarah ke transformasi pendidikan.
Dengan tranformasi pendidikan ini mengandung arti penegakan hukum harus mempunyai unsur pendidikan terhadap masyarakat. Oleh karenanya, setiap aparat penegak hukum harus sadar, apa yang dilakukannya itu mempunyai konsekuensi sosial. Mengingat, tindakannya itu nantinya akan diperhatikan dan di contoh masyarakat.
Kirst mengakui secara normatif hakim dan JPU mengikuti aturan yang ada dalam tuntutan tersebut. Namun, sebaiknya hakim harus melihat secara proporsional terhadap sanksi pidana yang akan diberikannya. Pertama, sebagai bagian dari aparatur negara, AKP Tulus harusnya memberikan contoh yang baik di masyarakat. Kedua, vonis berat setidaknya memberikan efek jera kepada setiap orang termasuk aparat yang menyalahgunakan jabatannya.
Jadi, dalam kasus ini, hakim harus menekankan pada keadilan sosial dan unsur transformasi pendidikannya. “Hukuman  maksimal harus diterapkan agar jangan sampai terjadi disparitas pidana,” tegas Krist.
Hal senada diungkapkan pula oleh Dewan Penasehat DPD Granat Jatim, Singky Soewadji. Menurutnya hukum itu tidak mengenal status dan jabatan seseorang. Siapa pun sama dimata hukum. Begitu pun penegak hukum yang melanggar hukum harus dihukum, sama seperti masyarakat lainnya. Pasalnya, hukum Indonesia juga mengatur persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum (equality before the law). Dengan demikian siapapun orangnya, tak peduli apa pekerjaannya, harus mendapat perlakuan sama di muka hukum. “Bahkan kalau perlu, hukumannya harus lebih berat. Dan institusi kepolisian harusnya legowo. Mereka itu kan aparat yang semestinya mencegah, kok malah ikut melibatkan diri,” katanya.
Bahkan Singky menegaskan sebaiknya oknum-oknum polisi itu diancam dengan hukuman yang lebih berat. “Kalau perlu hukuman mati,” tegasnya. semestinya sebagai penegak hukum, apa yang telah dilakukan oleh oknum-oknum polisi itu diancam dengan hukuman yang lebih berat. Bahkan kalau perlu diancam hukuman mati.
Tujuannya, untuk memberikan efek jera yang kuat bagi polisi dan warga lainnya. Akan lebih sempurna jika pemberlakuan hukuman lebih berat tidak hanya dibebankan kepada polisi, tetapi juga aparat hukum lain yang juga terlibat narkoba, seperti jaksa dan hakim.
“Logikanya begini. Polisi yang sering disebut sebagai ujung tombak penegakan hukum, seharusnya mempunyai kepatuhan hukum yang lebih baik daripada warga lainnya,” ujarnya.
Ditambahkannya, sebagai aparat hukum, polisi memiliki empat sikap dasar di bidang hukum, yang diajarkan saat menempuh pendidikan kepolisian. Pertama, memahami hukum. Kedua, mampu menerapkan hukum. Ketiga, mematuhi hukum. Dan yang keempat, siap ditindak atau diberi sanksi jika ia melanggar hukum. Dengan demikian, jika mereka melanggar hukum, sudah selayaknya dihukum lebih berat daripada hukuman terhadap masyarakat pada umumnya.
Namun seruan moral ini, akan sangat tidak berarti bila tak mendapatkan dukungan dari institusi tempat dimana sang oknum ini berada. "Sebab dalam langkah teknisnya, akan sangat tergantung kepada Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah Red) masing-masing," jelasnya. ri/ru

Dimuat di Harian Surabaya Pagi, 29/9/2005

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kalau boleh tau, kasus siapa yang bandar narkoba yang kedapatan membawa ratusan ekstasi dihukum 10 bulan, sedangkan yang bawa 2 butir ekstasi dikenai 2 tahun penjara itu? terima kasih